Friday, November 25, 2011

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu
Engkau sabagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa


http://tunas63.wordpress.com/


Siapa yang tak mengenali bait-bait diatas. Lagu tersebut merupakan bentuk apresiasi seorang Sartono terhadap guru. Pria kelahiran Madiun, 29 Mei 1936, merupakan seorang guru honorer yang pensiun 9 tahun lalu. Di akhir karirnya beliau pensiun tetap sebagai guru honorer tanpa ada status "PNS" atau mendapatkan uang pensiun.  Tak disangka, Sartono merupakan guru yang hanya bermodalkan ijazah SMP karena tidak sempat menuntaskan pendidikan SMA-nya. Beliau terpaksa meninggalkan sekolahnya saat duduk di bangku kelas dua SMA 3 Surabaya. Sartono yang awalnya berasal dari keluarga berkecukupan karena ayahnya seorang Camat Plorog, Pacitan harus menerima perubahan pahit saat Jepang datang menduduki Indonesia sehingga ayahnya pun tak lagi menjabat.


http://fransscoundrel.blogspot.com
Sartono merupakan pemusik yang belajar secara ortodidak. Seusai putus sekolah beliau bekerja di perusahaan rekaman dan piringan hitam Lokananta. Hanya selama dua tahun beliau menyambung hidup disana. Kemudian beliau bergabung dengan grup musik keroncong TNI AU Madiun yang memberikan pengalaman berkelana baginya. Selanjutnya Sartono menjadi guru musik di SMP Purna Karya Bhakti Madiun berkat bakat musiknya dan pengalamannya di Lokananta.

Penciptaan lagu yang menjadi lagu wajib nasional itu berawal dari ketertarikan Sartono akan sayembara di sebuah koran. Saat itu Depdiknas sedang mengadakan lomba menciptakan lagu bertemakan pendidikan dalam rangka hari Pendidikan Nasional pada tahun 1980. Berbagai usaha Sartono curahkan untuk menciptakan lagu. Sartono awalnya tidak bisa membaca not dan tidak punya latar belakang musik, bahkan Hari Raya Idul Fitri pun dia lewatkan dengan sendiri demi sebuah lagu. Dengan semangat dan ketekunannya beliau berhasil menciptakan "Hymne Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa". Perjuangannya tak sampai di situ, beliau mengalami kendala saat harus mengirimkan hasil karyanya itu. Bahkan untuk mengirimkan karya tersebut, beliau menjual jasnya agar dapat membiayai pengiriman via pos. Usahanya tidak sia-sia, dari ratusan peserta, lagu gubahan dari siulan Sartono yang menjadi pemenang. Dari hasil lomba tersebut, Sartono memperoleh hadiah berupa cek senilai Rp. 750.000,- dan berkesempatan ke Jepang untuk studi banding dengan beberapa guru teladan lainnya.

Saat ini Sartono hidup dengan keserdahanaan bersama Damiyati, istri tercinta yang setia menemani hidupnya. Kehidupan mereka berdua mengandalkan uang pensiun sang istri yang seorang pensiunan guru PNS. 


"Guru itu juga pahlawan. Tetapi selepas mereka berbakti tak satu pun ada tanda jasa menempel pada mereka, seperti yang ada pada polisi atau tentara", ujar Sartono.



http://therabexperience.blogspot.com
Hari ini adalah hari Guru. Hari untuk menghormati pahlawan tanpa tanda jasa di Indonesia. Penetapan Hari Guru di Indonesia didasarkan hari lahirnya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) 25 November 1945, tepat 100 hari seusai Proklamasi. Sejarah hari guru dimulai dari Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24 – 25 November 1945 di Surakarta. Melalaui kongres ini, segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama, dan suku, sepakat dihapuskan. Mereka adalah guru-guru yang aktif mengajar, pensiunan yang aktif berjuang, dan pegawai pendidikan Republik Indonesia yang baru dibentuk. Mereka bersatu untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Guru memang seorang manusia luar biasa. Menjadi guru di Indonesia tidaklah mudah karena kurangnya apresiasi dan jaminan hidup bagi seorang guru. Tanpa kehadiran guru kita tidak dapat mencapai segala kesuksesan yang ada pada diri kita. Guru dengan penuh kesabaran dan keikhlasan memberikan ilmu kepada kita, mengajar agar kita pintar hingga suatu saat kita dapat menjadi insan yang berguna bagi orang tua, masyarakat, bangsa dan agama. 

Keberhasilan seorang guru adalah ketika anak didiknya memahami yang diajarkannya. Kebahagiaan seorang guru adalah ketika anak didiknya berprestasi dan mendapatkan kesuksesan. Seorang guru tak hanya mengajarkan pendidikan berdasarkan kurikulum, namun pasti menyisihkan pesan-pesan moral yang berguna bagi karakter anak didiknya, mengajarkan mana yang baik mana yang tidak baik. Dulu saat saya duduk di kelas 2 SMP, saat pelajaran Bahasa Indonesia dan seisi kelas sedang diberikan tugas oleh guru, gemuruh keras hujan tiba-tiba menghantam. "Ah sial, ujan gede neh", ujar saya kepada teman sebangku. Ibu guru yang sedang keliling melihat murid-murid mengerjakan tugas, mendengar ucapan saya lalu menghampiri saya. "EH! Kamu ga boleh ngomong gitu. Hujan itu berkah dari Allah SWT, bukanlah suatu kesialan.", tegur Ibu guru. Sejak saat itu ketika hujan turun yang terbenak dalam pikiran saya adalah puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai murid, tidak perlu memberikan "materi yang segudang" untuk apresiasi terhadap guru, namun cukuplah dengan mengamalkan dan mempraktikkan semua ilmu yang telah kita dapatkan dari guru.


Guru mempunyai sifat dan karakter yang berbeda-beda. Cara mengajar pun tergantung dari gaya individu sang guru. Saya pernah mempunyai guru yang suka mengajar sambil bermusik. Melalui dentuman dan petikan gitarnya, Mr. Park mengajarkan beberapa materi pendidikan kelas 3 SD. Tak jarang jika pelajaran telah usai disampaikan namun waktu masih ada, maka kelas akan diramaikan oleh hiburan permainan musik beliau. Pesan yang saya terima dari guru kelas 3 Ironside State School itu adalah kita harus menjadi orang kreatif dan tidak boleh selalu terpaut dalam keseriusan. 


Saya memang sempat mengeyam pendidikan dasar di Brisbane, Australia dan guru-guru disana memberikan kenangan manis bagi saya. Ada lagi Mr. Woods guru kelas 4 saya. Beliau seorang warga negara Australia namun memiliki kecintaan terhadap Indonesia. HEBAT! Dia pernah berkunjung beberapa kali ke Indonesia dan beliau mempunyai topi kebanggaan, yaitu sebuah caping, topi tradisional dari anyaman bambu yang menjadi aksesoris penting untuk petani-petani di negara kita. Setiap ada fire drill Mr.Woods selalu menggunakan caping yang dia beli dari Bali. Kalau disana memang ada kegiatan rutin pelatihan evakuasi saat bahaya kebakaran (fire drill). Itulah Mr. Woods, yang bangga terhadap kebudayaan Indonesia. Apakah kita sebagai warga negara Indonesia sudah bangga terhadap budaya bangsa? 




Selamat hari Guru..


Terima Kasih Guruku..



terima kasih kepada sumber:
Kompas.com
http://fransscoundrel.blogspot.com

Tuesday, November 22, 2011

INTERMEZZO: Pendidikan Karakter

Sekarang lagi ramai perbincangan mengenai "kebiasaan buruk" wakil rakyat kita. Atau tentang korupsi yang menghiasi kehidupan kenegaraan Indonesia. Banyak hal, kasus dan berita yang menggambarkan menurunnya moral bangsa ini. Jika kita lihat latar belakang pemangku kursi-kursi ruang sidang di senayan, semuanya bergelar pendidikan macam-macam bahkan ada yang jika gelarnya disatukan lebih panjang dari namanya sendiri. Orang-orang "penting" di negara ini jelas merupakan orang yang berpendidikan, atau apakah patut dipertanyakan juga? Atau pendidikan bagi orang-orang tersebut hanya sebuah sampul buku agar terlihat bagus saat memajangkan namanya di media-media kampanye? 

Pernahkah Anda mendengar kata Pendidikan Karakter? Saat ini yang terjadi di Indonesia adalah menurunnya pendidikan karakter. Sesungguhnya Tuhan telah menitipkan bibit-bibit karakter yang berada dalam nurani manusia, namun tergantung manusia itu sendiri bagaimana menumbuhkan, merawat, dan memelihara bibit itu. Diri kita dan lingkungan lah yang menjadi faktor penting dalam penumbuhan karakter. Banyak karakter baik yang berubah buruk karena kurangnya "pertahanan" dalam diri ataupun mendapatkan hembusan dari angin luar. 

Berikut akan saya kutip tulisan dari Prof. Ibnu Hamad, Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Kemdikbud untuk lebih memahami mengenai pendidikan karakter.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
ARTI PENDIDIKAN KARAKTER

Seperti terminologi lainnya, tidak ada defenisi tunggal untuk pendidikan karakter. Secara etimologis, karakter berarti watak atau tabiat. Ada juga yang menyamakannya dengan kebiasaan. Selain itu ada yang mengaitkannya dengan keyakinan. Bahkan disamakan dengan akhlak.

Dari pengertian ini, yang jelas karakter sering dikaitkan dengan kejiwaan. Karenanya, menurut ahli psikologi, karakter adalah sistem keyakinan dan kebiasaan yang ada dalam diri seseorang yang mengarahkannya dalam bertingkah laku.

Lalu dimanakah letak karakter dalam diri seseorang? Inipun sulit dijawab. Namun ada “hukum” yang menarik terkait karakter. Kira-kira begini bunyinya: pikiran menghasilkan ucapan; ucapan mempengaruhi tindakan; tindakan menghasilkan kebiasaan; kebiasaan membentuk karakter; karakter menentukan nasib.

Ternyata, hal yang paling mendasar dalam pembentukan karakter itu tiada lain adalah pikiran. Maklumlah, dalam pikiran itulah semua tindakan manusia itu diprogram. Bermula dari pikiran itulah, baik buruknya tindakan manusia berasal. Bilamana pikirannya positif, maka tindakannya positif dan sebaliknya.

Oleh sebab itu, pikiran harus mendapatkan asupan yang baik agar menghasilkan asupan yang baik agar menghasilkan tindakan yang baik. Dalam konteks inilah pendidikan karakter sangat penting guna memberikan asupan yang baik itu. Kenyataannya, secara intrinsik yang namanya pendidikan bertujuan memberikan pikiran-pikiran positif. Jadi kloplah pasangan kata pendidikan dan karakter ini.


Empat Dimensi Pendidikan Karakter

Mencermati konsep dasar pendidikan, karakter yang dikembangkan Kemdiknas, tampaklah di sana empat dimensinya. Empat dimensi pendidikan karakter meliputi: olah pikir, olah hati, olah raga, dan oleh karsa.

Yang patut dicatat dalam empat dimensi ini adalah keterkaitan di antara mereka satu sama lain dilambangkan dengan empat lingkaran yang saling mengikat. Maknanya, karakter seorang individu dinyatakan lengkap jika keempat dimensi itu tumbuh dan berkembang dalam diri yang bersangkutan.

Tidak sempurna pribadi seseorang jika hanya pintar saja (olah otak). Apa artinya jika kepandaian jika tidak memiliki sifat-sifat ketuhanan, kemanusiaan, dan kesosialan serta kewargaan. Karena itu perlu olah hati.

Tentu saja, selain otak dan hatinya perlu berkembang, manusia juga perlu berkembang raga dan karsanya. Hal demikian agar ia dapat hadir di lingkungan sosialnya. Otak yang pintar dan hati yang lembut, belum sepenuhnya berguna jika belum memberikan kemanfaatan bagi sekitarnya.

Sedangkan olah raga, diperlukan agar seseorang memiliki keterjagaan fisik. Dengan sehat secara fisik, maka ketiga potensi sebelumnya, otak, hati, dan rasa, dapat dimanfaatkan secara optimal. Bayangkan, jika seseorang yang pintar otaknya, lembut hatinya, banyak karsanya, namun sakit-sakitan maka ia tidak akan memberikan dampak yang maksimal bagi lingkungannya.


Nilai Inti Pendidikan Karakter

Mendiknas, M. Nuh mengibaratkan nilai-nilai pada pendidikan karakter itu, termasuk yang berada dalam empat dimensi itu -- sebagai sebuah pohon. Ibarat pohon, pendidikan karakter itu memiliki akar yang karenanya pohon itu dapat tumbuh dan berkembang. Demikian pula seseorang bisa hidup dengan baik jika memiliki nilai-nilai inti karakter sebagai akar kehidupannya. Nilai inti tersebut terdiri dari empat aspek.

Pertama, jujur. Semua orang tak terkecuali orang jahat apalagi orang baik, menyukai kejujuran. Kejujuran menghasilkan kebaikan. Dengan jujur, semua masalah menjadi mudah terpecahkan.

Kedua, cerdas. Sudah terang jujur merupakan sesuatu yang mendasar dalam hidup seseorang. Namun jujur saja tetapi –maaf- bodoh kurang berarti karena itu akan lebih banyak menjadi beban bagi orang lain. Oleh sebab itu ia harus cerdas supaya bisa mengambil peran aktif dalam menjawab setiap persoalan paling tidak yang menimpa dirinya sendiri.

Ketiga, bisa berteman. Apa artinya jujur dan cerdas namun tidak bisa bergaul dengan orang lain? Orang egois, mau menang sendiri saja, dan suka menyakiti orang lain tak banyak manfaatnya walaupun jujur dan cerdas. Karenanya karakter yang harus dimiliki adalah harus bisa berteman.

Keempat, bertanggung jawab. Inilah karakter yang menjadi taruhan seseorang dalam kehidupan sosialnya. Sebagai sikap ksatria, karakter bertanggung jawab mencerminkan kepribadian yang dapat diandalkan sekaligus membanggakan. Bukankah setiap perbuatan selalu dimintai pertanggungjawabannya?


Tujuan PK

Dalam berbagai kesempatan Mendiknas, M. Nuh menegaskan bahwa pendidikan karakter bagi peserta didik Indonesia bertujuan hendak menjadikan manusia Indonesia sebagai individu yang memiliki tiga elemen sekaligus di bawah ini.

Pertama, sebagai makhluk Tuhan yang mengakui bahwa semua makhluk di hadapan Tuhan itu sama. Bahwasanya sesame makhluk Tuhan tidak ada yang lebih unggul dan lebih hebat dari yang lainnya. Jika setiap orang memiliki pikiran seperti ini, niscaya akan timbul rasa saling mengasihi antar sesama. Hidup pun menjadi rukun dan saling menghormati, toleran dengan perbedaan, dan suka tolong menolong.

Kedua, sebagai manusia intelektual yang memiliki kepenasaranan untuk tahu (curiousity) terhadap berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, seseorang akan pintar dan cerdas karena selalu berusaha menambah ilmu dan keterampilannya. Pada gilirannya, iptek yang dikuasainya tersebut dapat dimanfaatkan bukan saja untuk kepentingan dirinya sendiri melainkan juga kemaslahatan orang lain bahkan warga dunia.

Ketiga, sebgai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang cinta dan bangga pada tanah air. Cinta dicirikan oleh rasa memiliki yang kuat pada NKRI yang berasaskan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Bangga diindikasikan oleh raihan prestasi yang disumbangkan pada NKRI demi kejayaan bangsa dan negara. Dengan tiga tujuan utama ini, pendidikan karakter bersifat komprehensif yang hendak menjadikan setiap anak bangsa memiliki watak yang menjunjung tinggi nilai ketaqwaan, kesosialan, dan kebangsaan. Lebih dari itu, watak ketaqwaan, kesosialan, dan kebangsaan tidak dilakukan secara membabi buta melainkan dilaksanakan dengan penuh kesadaran karena ketiga watak ini disertai dengan watak keilmuan (curiousity)


Kearifan Lokal untuk Pendidikan Karakter

Disadari atau tidak, sungguh amat banyak nilai-nilai tradisional yang hidup dalam masyarakat yang dapat dijadikan sebagai muatan pendidikan karakter. Nilai-nilai tradisi ini telah menjadi kearifan lokal yang walaupun berbeda-beda di antara suku-suku bangsa namun memiliki kesamaan yang sangat signifikan. Manakala nilai-nilai tradisional ini hendak disinkronkan dengan pendidikan karakter niscaya sangat sejalan dengan nilai inti dan tujuan pendidikan karakter.

Tercatat dalam sejarah perjalanan bangsa kita, kepercayaan pada sesuatu yang supranatural menjadi bagian hidup dari kebanyakan suku bangsa. Sebelum Hindu sebagai agama yang pertama kali datang ke Indonesia, suku-suku bangsa di Tanah Air umumnya menganut animisme dan dinamisme. Mereka percaya bahwa di balik alam yang nyata itu ada kekuatan yang mengendalikan hidup mereka dan mereka memujanya. Lewat pemujaan itu mereka berharap kehidupan mereka, sanak familinya dan lingkungannya berjalan dengan baik. Atas dasar kepercayaan yang dianutnya mereka menata harmoni sosial mereka.

Ketika agama-agama masuk mulai dari Hindu, Budha, Konghucu, Kristen, dan Islam, kepercayaan bangsa Indonesia kepada tuhan semakin berkembang. Sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya masing-masing, setiap pemeluk agama percaya bahwa hanya Tuhan yang Maha Besar dan Maha Kuasa; sedangkan manusia harus tunduk dan patuh pada titahNya termasuk menghargai sesama dan melestarikan alam sekitar.

Selanjutnya kepercayaan kepada Tuhan itu bukan saja menjadi landasan spiritual serta tuntutan dan tuntunan ritual para pemeluknya, melainkan pula menjadi sumber nilai dan norma sosial seperti kejujuran, tolong menolong, bertanggung jawab dan lain sebagainya. Seperti dimaklumi, salah satu pilar keimanan adalah percaya bahwa Tuhan maha melihat. Pilar inilah yang membuat pemeluk agama merasa harus selalu jujur. Pilar lainnya, setiap perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di hadapan Tuhan. Aspek inilah yang mendorong para pemeluk agama selalu mempertimbangkan setiap tindakannya: apakah sejalan dengan ajaran agama ataukah menyimpang. Sedangkan untuk sikap tolong menolong, setiap agama memerintahkannya minimal di anatara pemeluk agamanya masing-masing.

Di samping nilai dan norma yang bersumber dari agama, di tengah masyarakat kita dalam suku-suku bangsa Indonesia juga ada dan masih hidup nilai-nilai dan norma sosial yang bersumber dari adat. Biasanya kearifan lokal yang bersumber dari adat ini berbentuk pepatah petitih yang mengajarkan kebaikan seperti ajakan untuk menambah pengetahuan, dorongan untuk kerja keras, nasihat dalam mengumpulkan kekayaan, unggah ungguh berbahasa, cara menghormati orang lain, hingga ajaran melestarikan alam sekitar.

Secara turun temurun kearifan lokal yang bersumber dari adat istiadat itu, dan bersanding dengan kearifan lokal yang bersumber dari ajaran agama, masih terus diwariskan dan sesungguhnya masih hidup di tengah masyarakat kita. Karena itu, ketika pendidikan karakter didengungkan ulang maka sejatinya kearifan lokal itu dapat digunakan untuk memperkuat pendidikan karakter. Sebaliknya pendidikan karakter ini merevitalisasi kearifan lokal untuk dimanfaatkan dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara.

Oleh karena tokoh-tokoh pemangku kearifan lokal ini pada dasarnya masih banyak, dan pada umumnya terdidik, maka sangat terbukalah peluang mereka untuk menyandingkan pendidikan karakter dan kearifan lokal. Bilamana kita mampu menyandingkan dalam arti menunjukkan bahwa pendidikan karakter sejalan dengan nilai tradisi kita sendiri, maka efektivitas pendidikan karakter akan cepat terasa. Semoga.


-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saya lalu mulai mencari tau lebih mengenai pendidikan karakter melalui Mbah Google. Saya menemukan sebuah situs yang menurut saya terdapat tulisan-tulisan yang menarik dan bermanfaat mengenai pendidikan karakter, http://www.pendidikankarakter.com/

Karakter bukanlah sesuatu bawaan sejak lahir yang tidak dapat diubah lagi seperti sidik jari (Peran Pendidikan Karakter Dalam Melengkapi Kepribadian, Timothy Wibowo)


PENDIDIKAN

Pendidikan memiliki kata dasar 'didik', yang memiliki arti memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan bearti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Sedangkan menurut Kleis (1974), pendidikan adalah "sejumlah pengalaman yang dengan  pengalaman  itu,  seseorang  atau  kelompok  orang  dapat memahami sesuatu yang sebelumnya tidak mereka pahami." Pengalaman itu terjadi karena adanya interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungannya. Interaksi itu menimbulkan proses perubahan (belajar) pada manusia dan selanjutnya proses perubahan itu menghasilkan perkembangan (development) bagi kehidupan seseorang atau kelompok dalam lingkungannya.



Terdapat tiga jenis pendidikan, yaitu pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan nonformal. Pengertian dari ketiga jenis pendidikan tersebut jika dikutip dari Coombs (1973)  adalah sebagai berikut:

Pendidikan  formal  adalah  kegiatan  yang  sistematis,  bertingkat/berjenjang, dimulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan yang setaraf dengannya;   termasuk kedalamnya   ialah   kegiatan   studi   yang   berorientasi akademis  dan  umum,  program   spesialisasi,  dan  latihan  professional,  yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus.

Pendidikan informal adalah proses yang berlangsung sepanjang usia sehingga sehingga setiap  orang memperoleh nilai, sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang  bersumber dari pengalaman  hidup  sehari-hari,  pengaruh  lingkungan termasuk di dalamnya adalah pengaruh  kehidupan keluarga, hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan, dan media massa.

Pendidikan nonformal ialah setiap kegiatan teroganisasi dan sistematis, di luar sistem persekolahan yang , dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mancapai tujuan belajarnya.

Secara ringkas pendidikan informal merupakan pendidikan dasar (primer) yang kita peroleh dan menjadi bahan baku kehidupan sehari-hari, sedangkan pendidikan formal maupun nonformal adalah pendidikan (tersier dan sekunder). Kenapa saya katakan demikian? Kita pertama kali mengenal pendidikan itu datangnya dari lingkungan keluarga (informal) sedangkan untuk mendapatkan pendidikan formal/nonformal dibutuhkan usaha lebih dan memiliki nilai lebih (tersier/sekunder).

Pendidikan itu dinamis karena merupakan suatu proses. Bagi kaum muslim, pendidikan dimulai saat bayi dilahirkan, yaitu melalui pelafalan adzan dan kalimat takbir di telinga sang buah hati. Bahkan ada cerita yang dikutip dari uraian Kultum Ramadhan Ust. Quraish Shihab yang berbunyi:

Seorang ayah pernah berkata kepada anaknya, 'Aku mendidikmu sebelum engkau lahir,'
Sang anak bingung dan bertanya, 'Bagaimanakah itu bisa Ayah?'Ayahnya menjawab, 'Aku memilihkan ibu yang baik untuk mendidikmu, jika ia tidak pandai niscaya engkau tidak akan terbentuk seperti saat ini.'

Pengenalan pendidikan pun disunnahkan sejak bayi baru lahir. Walaupun saat itu bayi belum tentu mendengarnya apalagi mengerti maksud dan tujuan dari adzan dan kalimat takbir, namun makna sunnah itu adalah Islam mengajarkan kaumnya untuk mengenalkan pendidikan Islam sejak dini. Sejak awal anak diajarkan untuk mengenal Allah SWT yang menciptakan seluruh kehidupan. Itulah makna dari melafalkan adzan dan kalimat takbir pada bayi yang baru lahir sebagai pendidikan awal untuk anak.

Saya lahir, tumbuh dan besar di kalangan pendidikan. Keluarga saya pun merupakan orang-orang yang gemar mencari pendidikan. Ibu saya bergelar Ph.D, Bapak saya Komisaris Besar Polisi bergelar Master, sedang Kakak saya seorang Master juga. Saat ini saya yang bergelar paling rendah, masih seorang sarjana.

Saya bersama Ibu tercinta (naris dikit)


Ibu saya merupakan pemerhati dan praktisi pendidikan. Beliau saat ini bekerja di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dan aktif mengajar untuk mahasiswa pascasarjana di Universitas Negeri Jakarta dan Universitas Pendidikan Indonesia. Selama 20 tahun beliau berkecimpung di dunia kurikulum pendidikan (formal) Indonesia sebelum hijrah ke pendidikan nonformal dan informal. Bagi Ibu saya, pendidikan bukanlah gelar yang bisa kita bangga-banggakan di awal/akhir nama kita namun merupakan kehidupannya. Beliau mengabdikan hasratnya untuk pendidikan Indonesia. Jika tidak karena cinta terhadap tanah air mungkin beliau tidak akan bertahan sebagai PNS mengadbi untuk negara. Tak jarang kami sekeluarga menolak tawaran kesempatan untuk menetap di luar negeri karena Ibu mendapatkan tawaran pekerjaan di sana. Ibu saya merupakan pendidik utama saya dan inspirasi bagi saya.

Bagi saya, pendidikan yang tak ternilai dan paling penting adalah pendidikan yang diperoleh dari keluarga. Karakter, perilaku dan watak yang kita peroleh merupakan hasil didikan orang tua kita. Tak ada yang dapat mendidik seorang anak lebih baik dari orang tua sendiri.  Saat kita berkumpul bersama keluarga lalu berbincang-bincang berbagai macam hal mulai dari politik, kesehatan, pekerjaan, gosip artis atau hal lainnya, maka secara tidak sadar kita sedang memperoleh pendidikan pula. Belajar dari suatu hal yang sebelumnya tidak diketahui lalu kemudian mengetahui dan memahaminya. Saya bersama Ibu sering bertukar pikiran membahas berbagai macam hal dan saat itu merupakan proses pendidikan bagi kami berdua. Contoh tersebut merupakan definisi pendidikan yang diungkapkan oleh Kleis. 


Menurut Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Indonesia), pendidikan keluarga berfungsi:
1. Sebagai pengalaman pertama masa kanak-kanak.
3. Menanamkan dasar pendidikan moral.
2. Menjamin kehidupan emosional anak.
4. Memberikan dasar pendidikan sosial.
5. Meletakkan dasar-dasar pendidikan agama bagi anak-anak.

Lalu apa makna dari pendidikan? Mari mengutip pengertian pendidikan bagi seorang Ki Hajar Dewantara, beliau berpendapat: 

pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

Membaca pendapat beliau saya jadi berpikir-pikir makna pendidikan bagi saya sendiri. Poin menarik dari pendapat tersebut adalah "keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya". Apakah betul dengan pendidikan kita dapat selamat dan bahagia di kehidupan? Saya sependapat dengan Ki Hajar Dewantara. Saya berusaha mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan melalui pendidikan. Saya termasuk orang yang keingintahuannya tinggi dan jika saya berhasil mengetahui suatu hal maka saya merasa bahagia. Melalui pendidikan pula saya berusaha membentuk pribadi yang lebih baik. Manusia tidak akan pernah berhenti belajar, orang yang terus aktif belajar akan mendapatkan umur yang panjang.

Dosen pembimbing sarjana saya sering bertanya, "Kamu mau ngapain setelah lulus (sarjana)?". Saya pun menjawab bahwa saya ingin melanjutkan studi ke luar negeri. Ngapain jauh-jauh harus mencari pendidikan ke luar negeri? Yak kita sambung saja ke bayangan selanjutnya..

terima kasih untuk:
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
http://lesly-septikasari.blogspot.com/2010/10/makna-adzan-ketika-anak-lahir.html
http://imadiklus.com/2011/06/pengertian-tiga-jenis-pendidikan.html

Tuesday, November 15, 2011

My name is..

Names.. What is it for? What is the meaning of having a name?


http://www.techpin.com/cool-names/

Your name is not only your identity but sometimes it defines who you are. Some names are unique, some are familiar, some might be hilarious and some sounds sweet. People says that a name is actually a prayer from the parents what the child would be.
Mostly there's a given name or front name, middle name (tentative) and surname or family name. In Indonesia, not all of the names has structures of three. Mostly are  two and you can also find a person with a single name. Indonesian don't have the culture of having a surname/family name that is pass down through many generations, except for some tribes such as batak or manado that usually have a special clan (fam/marga) to be passed down. Actually it depends on the family to have a name to be pass down or not. For example, my father's family name is Matahelemual but on my birth certificate it isn't included. Matahelemual is an ambonese clan name but not well known. In the western, if you're looking for a person you might seek for their family name. In Indonesia is quite hard finding someone by seeking for their family name. In one family, they could have unique surnames.


In my birth certificate, elementary/junior high/high school and university degree, my father's name isn't included but on my National Identity (KTP) and Passport it's included. Why do I have Matahelemual on my KTP? It's because my father that took care of my KTP application and he insist to add the name. Because a passport is made according to KTP, Matahelemual is stuck on it too. Well that's Indonesia, everything can be easily  arranged. But sometimes there's a benefit having a three structure name if you're a field worker and travel arround the world. In the Arabs you'll need to have a three structure name to get a visa, this was told by my colleagues that usually works offshore in the Emirates. Now days having an Arabic name can complicate you for entering certain countries after 9/11.
Name is a prayer huh? Some names have meanings and carefully chosen by the parents. But there's also "just a name".

I have been told by my mother what my names mean. "Dhira is brave and Adhiwijna means the most prudent", my mother said. But I also did some "googling" for my name's meanings. My names are taken from sanskrit, an ancient Indo-aryan language originates from India. I found a great website, an online sankrit dictionary, that was very helpful: http://spokensanskrit.de/ .
Dhira (धीरhad a lot of meanings, brave, deep, dull, wise, gentle, clever, energetic and so on. In that site, Adhiwijna/AdhivijJana (अधिविज्ञानmeant highest knowledge. So now I know what my parents expect from to be :-D

I found about that website just last night, not because I was looking for my name but because I wanted to change my blog page name. When I first created my blog, the page was hydrocean.blogspot.com. Then I found out that there's a French company named Hydrocean. Since I don't want to be called a copy cat, I wanted to change it immediately. The name hydrocean came up my mind because of my interest and passion in water, seas and oceans. The oceans and seas are an inspiration for me, that's why I wanted to name my page with something with it. I started to "google" sankrit online dictionary to seek oceans and seas in sankrit. I decide to change my page to bharubhiru.blogspot.com. Bharu? Bhiru? It's not taken from Baru (in Indonesian it means new)  or Biru (blue) but it's another sankrit word. One of the meaning of Bharu (भरु) is Sea and Bhiru (भीरु)is shadow. bharubiru is the shadows of the ocean, my words are my shadows in my life..

Dhira can also be meant as sea. Maybe it was written for me to be with the sea...

Monday, November 14, 2011

Let's start!

Well oh well..So this is it..

I'm trying to fill my time with something positive and I'm also a person who likes to share. So I have made this blog as a media of sharing information and learning. This blog is going to be in Bahasa Indonesia and English. I can't guarantee anything fancy and sophisticated in my blogs as I'm a newbie and still learning to blog, but hopefully my writings would be helpful to others :D

Bismillahirrahmanirrahiim..